Laman

Sabtu, 22 Januari 2011

PEMBUATAN TEMPE

 

Salah satu tugas matakuliah konsentrasi IPA yang saya dapatkan adalah membuat tempe dari kacang tanah. sepertinya ibu dosen ingin mahasiswanya tidak membeli tempe di pasaran, karena memang tempe yang berbahan dasar kacang tanah sangat jarang dijumpai. adapaun laporan pembuatan tempe dari kacang tanah adalah sebagai berikut.

Jumat, 21 Januari 2011

MISKONSEPSI GURU DALAM KBM DI KELAS

MISKONSEPSI DALAM PEMBELAJARAN IPA SD

Oleh:

Nur Wijayanto dan Agus Zaenal Fanani

Pembelajaran IPA di sekolah dasar merupakan kegiatan pembelajaran yang menitikberatkan pada “kegiatan”. Dalam arti siswa dikondisikan melakukan kegiatan-kegiatan bukan diceramahi saja oleh guru. Siswa diajak bereksperimen, mengamati sesuatu ataupun berkarya wisata. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa hakikat pembelajaran IPA adalah pengetahuan dibentuk atau dikonstruksi oleh siswa.

Minggu, 04 Juli 2010

PENYIMPANGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR

Oleh Kelompok 9
(Ardhi Tri utomo, Nur Wijayanto, dan Windra Jemi Rokhmad)

Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara umum sama. Pada setiap tahap perkembangan, setiap anak dituntut dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal (perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik.
Perilaku adalah segala sesuatu yang diperbuat oleh seseorang atau pengalaman. Kartono dalam Darwis (2006: 43) mengemukakan bahwa ada dua jenis perilaku manusia, yakni perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan parilaku abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau perilaku bermasalah.
Apabila anak dapat melaksanakan tugas perilaku pada masa perkembangannya dengan baik, anak tersebut dikatakan berperilaku normal. Masalah muncul apabila anak berperilaku tidak sesuai dengan tugas perkembangannya. Anak yang berperilaku diluar perilaku normal disebut anak yang berperilaku menyimpang (child deviant behavior).
Perilaku anak menyimpang memiliki hubungan dengan peyesuaian anak tersebut dengan lingkungannya. Hurlock (2004: 39) mengatakan bahwa perilaku anak bermasalah atau menyimpang ini muncul karena penyesuaian yang harus dilakukan anak terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang baru. Berarti semakin besar tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah penyesuaian yang dihadapi anak tersebut.
Perilaku menyimpang adalah suatu persoalan yang harus menjadi kepedulian guru, bukan semata-mata perilaku itu destruktif atau mengganggu proses pembelajaran, melainkan suatu bentuk perilaku agresif atau pasif yang dapat menimbulkan kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang merupakan perilaku yang dapat menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu termasuk perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 43). Guru perlu memahami perilaku bermasalah ini sebab anak yang bermasalah biasanya tampak di dalam kelas dan bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan interaksi dengan lingkungannya.
Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin hanya tampak pada sebagian anak, pada dasarnya setiap anak memiliki masalah-masalah emosional dan penyesuaian sosial. Masalah itu tidak selamanya menimbulkan perilaku bermasalah atau menyimpang yang kronis (darwis, 2006: 44).
Guru sering kali menanggapi perilaku anak yang bermasalah atau menyimpang dengan memberikan perlakuan secara langsung dan drastis yang tidak jarang dinyatakan dalam bentuk hukuman fisik. Cara atau pendekatan seperti ini sering kali tidak membawa hasil yang diharapkan karena perlakuan tersebut tidak didasarkan kepada pemahaman apa yang ada dibalik perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 44). Sekalipun demikian pemahaman terhadap perilaku bermasalah bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan guru.
Bertolak dari paparan di atas, permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut: apa saja gejala-gelaja penyimpangan perilaku anak SD dan apa saja jenis-jenis penyimpangan perilaku anak SD. Tujuan yang ingin dicapai adalah memaparkan atau mendeskripsikan gejala-gelaja penyimpangan dan jenis-jenis perilaku menyimpang anak SD.

PEMBAHASAN
Makalah ini membahas tentang gejala-gejala penyimpangan perilaku anak SD dan dan jenis-jenis penyimpangan perilaku pada anak SD. Penjelasan mengenai hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.

Gejala-gejala penyimpangan perilaku pada anak SD
Gejala penyimpangan perilaku anak merupakan tanda-tanda munculnya perilaku menyimpang pada anak. Gejala-gejala penyimpangan perilaku anak merupakan perbuatan atau atau perilaku anak SD yang dapat menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami penyimpangan perilaku anak SD yang bersangkutan. Secara umum gejala ini berasal dari dalam diri anak dan dari lingkungan sekitar. Gejala penyimpangan perilaku dari dalam diri anak SD muncul akibat ketidakmampuan anak tersebut untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan di mana ia berada. Hal tersebut juga akan mengakibatkan anak berperilaku mundur ke perilaku yang sebelumnya ia lalui (Hurlock, 2004: 39). Sedangkan gejala penyimpangan perilaku pada anak yang berasal dari lingkungan sekitar menurut Hurlock (2004: 288) antara lain pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah, lingkungan rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, kurang motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar.
Pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak bermakna bahwa para orang tua dan guru sering menganggap perilaku normal yang mengganggu ketenangan di rumah atau kelancaran sekolah sebagai perilaku bermasalah. Bila mereka beranggapan seperti itu si anak mungkin akan mengembangkan sikap yang tidak menyenangkan terhadap mereka dan terhadap situasi di mana perilaku itu terjadi (Hurlock, 2004: 39). Akibatnya ialah si anak mengembangkan perilaku yang merupakan masalah yang serius, misalnya berbohong, berbuat licik atau merusak sebagai cara membalas dendam.
Pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah merupakan hal yang menjadikan anak akan menemui kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah, meskipun dia diberikan motivasi kuat untuk melakukannya. Hurlock (2004: 288) memberikan contoh bahwa, anak yang diasuh dengan metode otoriter, misalnya, sering mengembangkan sikap benci terhadap semua figur berwenang. Contoh yang lain adalah pola asuh yang serba membolehkan di rumah, anak akan menjadi orang yang tidak mau memperhatikan keinginan orang lain, merasa dia dapat mengatur dirinya sendiri.
Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial merupakan hal yang sering timbul dari pengalaman sosial awal yang tidak menyenangkan baik di rumah atau di luar rumah (Hurlock, 2004: 288). Sebagai contoh, anak yang selalu digoda atau diganggu oleh saudaranya yang lebih tua, atau yang diperlakukan sebagai orang yang tidak dikehendaki dalam permainan mereka, tidak akan memiliki motivasi kuat untuk berusaha melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah.
Anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar. Hurlock (2004: 288) menyatakan bahwa meskipun anak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar melakukan enyesuaian sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar itu. Sebagai contoh apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan dapat “menguasai” agresivitasnya setelah bertambah dewasa dan mengalami hubungan sosial yang lebih banyak, anak itu tidak akan mengasosiasikan agresivitasnya dengan penolakan teman sebaya yang dialaminya dan, akibatnya dia tidak akan berusaha untuk mengurangi agresivitasnya.

Jenis-jenis atau bentuk-bentuk perilaku menyimpang pada anak SD
Salah satu tujuan memahami perilaku bermasalah ialah karena perilaku tersebut muncul untuk menghindar atau mempertahankan diri. Dalam psikologi perilaku ini disebut mekanisme pertahanan diri yang disebabkan oleh karena anak menghadapi kecemasan dan tidak mampu menghadapinya (Darwis, 2006: 43). Kecemasan pada dasarnya adalah ketegangan psikologis sebagai akibat dari ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan. Disebut mekanisme pertahanan diri, karena dengan perilaku tersebut individu dapat mempertahankan diri atau menghindar dari situasi yang menimbulkan ketegangan.
Bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang atau mekanisme pertahanan diri ini antara lain rasionalisasi, sifat bermusuhan, menghukum diri sendiri, refresi/penekanan, konformitas, dan sinis (Darwis, 2006 : 44). Adapun bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang anak SD dijelaskan pada paparan berikut ini.

Rasionalisasi
Rasionalisasi dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut “memberikan alasan”. Memberikan alasan yang dimaksud adalah memberikan penjelasan atas perilaku yang dilakukan oleh individu dan penjelasan tersebut biasanya cukup logis dan rasional tetapi pada dasarnya apa yang dijelaskan itu bukan merupakan penyebab nyata karena dengan penjelasan tersebut sebenarnya individu bermaksud menyembunyikan latar belakang perilakunya (Darwis, 2006: 44).

Sifat Bermusuhan
Sikap individu yang menganggap individu lain sebagai musuh/saingan. Menurut Darwis (2006: 45) sikap bermusuhan ini tampak dalam perilaku agresif, menyerang, mengganggu, bersaing dan mengancam lingkungan.

Menghukum diri sendiri
Perilaku menghukum diri sendiri terjadi karena individu merasa cemas bahwa orang lain tidak akan menyukai dia sekiranya dia mengkritik orang lain. Orang seperti ini memiliki kebutuhan untuk diakui dan disukai amat kuat (Kartadinata, 1999: 196).

Refresi/penekanan
Refresi ditunjukkan dalam bentuk menyembunyikan dan menekan penyebab yang sebenarnya ke luar batas kesadaran. Individu berupaya melupakan hal-hal yang menimbulkan penderitaan hidupnya.

Konformitas
Perilaku ini ditunjukkan dalam bentuk menyelamatkan diri dari perasaan tertekan atau bersalah terhadap pemenuhan harapan orang lain. Tujuan anak melakukan hal ini agar ia terhindar dari perasaan cemas.

Sinis
Perilaku ini muncul dari ketidak berdayaan individu untuk berbuat atau berbicara dalam kelompok. Ketidak berdayaan ini membuat dirinya khawatir dan cenderung menghindar dari penilaian orang lain.
Semua perilaku mekanisme pertahanan diri di atas mempunyai karakteristik (darwis, 2006: 45). Karakteristik tersebut antara lain: (a) menolak, memalsukan, atau mengacaukan kenyataan, (b) dilakukan tanpa menyadari latar belakang perilaku tersebut. Pola perilaku pertahanan diri ini cenderung kepada pengurangan kecemasan dan bukan pemecahan masalah yang menjadi dasar penyebab kecemasan itu.

KESIMPULAN
Gejala perilaku menyimpang pada anak SD dapat muncul dari dalam diri anak tersebut dan dari lingkungan sekitarnya. Gejala yang muncul dari dalam dirinya adalah perilaku anak yang mundur ke perilaku yang sebelumnya ia lalui. Sedangkan gejala yang muncul dari luar diri anak atau muncul dari lingkungan sekitar anak antara lain pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah, lingkungan rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, kurang motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar.
Jenis-jenis atau bentuk-bentuk perilaku menyimpang anak SD merupakan mekanisme pertahanan diri anak tersebut yang disebabkan oleh karena anak menghadapi kecemasan dan tidak mampu menghadapinya. Adapun jenis-jenis penyimpangan perilaku anak SD antara lain rasionalisasi, sifat bermusuhan, menghukum diri sendiri, refresi/penekanan, konformitas, dan sinis.

DAFTAR RUJUKAN
Darwis, Abu. 2006. Perilaku Menyimpang Murid SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan

Hurlock, Elizabeth. B. 2004. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Kartadinata, Sunaryo. 1999. Bimbingan Di Sekolah Dasar. Bandung: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar

PENGAMATAN PENGGUNAAN METODE DEMONSTRASI PADA PEMBELAJARAN SAINS DI KELAS IV SDN SANANWETAN 03 KOTA BLITAR

Pembelajaran sains di tingkat SD dilaksanakan sesuai dengan sains sebagai suatu proses dan sains sebagai suatu produk. Pembelajaran sains tersebut memiliki arti bahwa pembelajaran sains mengondisikan siswa melakukan serangkaian kegiatan untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menemukan sesuatu. Siswa dengan bimbingan guru diarahkan untuk dapat menemukan atau membuat kesimpulan dari serangkaian kegiatan yang sudah dilakukan tadi. Berarti terdapat interaksi antara siswa dengan objek atau alam secara langsung (Asy’ari,2006:37). PENGAMATAN PENGGUNAAN METODE DEMONSTRASI
PADA PEMBELAJARAN SAINS DI KELAS IV
SDN SANANWETAN 03 KOTA BLITAR

Nur Wijayanto

Abstrak: Pengamatan ini difokuskan untuk mengetahui penggunaan metode de-monstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan metode demonstrasi di kelas tersebut dengan penggunaan demonstrasi yang sebenarnya. Pengamatan ini memberikan informasi bahwa: (a) tahap pelaksanaan dilaksanakan tanpa menggunakan rencana pelaksanaan pembelajaran, melibatkan siswa selama pelaksanaan demonstrasi, hubungan guru dengan siswa tidak kaku, dan guru tidak memarahi siswa yang gagal melakukan demonstrasi; (b) tahap evaluasi dilaksanakan guru dengan melakukan tanya jawab dengan siswa; dan (c) kesesuaian penggunaan metode demonstrasi dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya adalah 63%.

Kata Kunci : pembelajaran sains, metode demonstrasi


Pembelajaran sains di tingkat SD dilaksanakan sesuai dengan sains sebagai suatu proses dan sains sebagai suatu produk. Pembelajaran sains tersebut memiliki arti bahwa pembelajaran sains mengondisikan siswa melakukan serangkaian kegiatan untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menemukan sesuatu. Siswa dengan bimbingan guru diarahkan untuk dapat menemukan atau membuat kesimpulan dari serangkaian kegiatan yang sudah dilakukan tadi. Berarti terdapat interaksi antara siswa dengan objek atau alam secara langsung (Asy’ari,2006:37).
Keterampilan yang dapat ditarik berdasarkan acuan pengajaran sains SD adalah “pembelajaran sains di sekolah dasar akan efektif apabila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri dalam pembelajaran” (Asy’ari, 2006:44). Siswa akan lebih paham apabila berinteraksi secara langsung dengan objek yang dipelajari. Siswa juga akan menjadi aktif, kreatif dan peka terhadap keadaan lingkungan sekitarnya apabila berhadapan langsung dengan objek yang dipelajari. Untuk itu, diperlukan strategi pembelajaran yang tepat oleh guru agar diperoleh hasil yang maksimal dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Strategi pembelajaran yang dimaksud adalah penggunaan metode pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran sains adalah metode percobaan. Melalui metode ini siswa dapat melakukan serangkaian percobaan untuk menemukan produk sains mereka. Untuk melaksanakan metode tersebut, diperlukan alat dan bahan percobaan. Selain itu, pelaksanaan percobaan hendaknya dilakukan siswa secara individu atau dalam kelompok kecil. Sehingga siswa tersebut memperoleh produk sains melalui usaha mereka sendiri.
Pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar menggunakan metode percobaan seperti uraian di atas. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Kemudian, siswa tersebut melakukan serangkaian percobaan dengan menggunakan alat dan bahan yang ada di sekitar siswa atau menggunakan Kit IPA. Siswa dibimbing oleh guru untuk menemukan produk sains mereka sendiri.
Pelaksanaan pembelajaran dengan metode percobaan tersebut di atas akan menjadi masalah apabila terdapat kesenjangan antara jumlah siswa dengan jumlah alat peraga khususnya kit IPA. Menyiasati hal tersebut dapat digunakan metode demonstrasi. Menurut Hasibuan dan Moedjiono (2006:29), metode demonstrasi adalah “bahwa seorang guru, atau seorang demonstrator (orang luar yang sengaja diminta), atau seorang siswa memperlihatkan kepada seluruh kelas suatu proses, misalnya bekerjanya suatu alat pencuci otomatis, cara membuat kue, dan sebagainya...”.
Pelaksanaan metode demonstrasi harus memperhatikan beberapa hal. Hal-hal ini merupakan kriteria-kriteria dalam melaksanakan metode demonstrasi yang baik. Kriteria-kriteria tersebut antara lain tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi.
Tahap perencanaan merupakan kegiatan sebelum melaksanakan metode demonstrasi. Tahap perencanaan meliputi : (1) merumuskan hal-hal atau keterampilan apa yang akan diperoleh/dicari siswa. Guru menentukan materi beserta kegiatan pembelajarannya, (2) mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, apakah metode tersebut wajar dipergunakan, dan apakah ia merupakan metode yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang dirumuskan (Hasibuan dan Moedjiono,2006:30), (3) mempertimbangkan dan menggunakan metode lainnya dalam pembelajaran, (4) mempertimbangkan alat dan bahan yang akan digunakan apakah dapat diperoleh di lingkungan sekitar dan apakah layak digunakan, (5) menentukan waktu, alat dan bahan, dan langkah-langkah kegiatan, dan (6) mencoba terlebih dahulu demonstrasi tersebut sebelum dilakukan saat pembelajaran.
Tahap pelaksanaan adalah kegiatan melaksanakan metode demonstrasi pada pembelajaran. Tahap-pelaksanaan meliputi : (1) memberikan langkah-langkah kegiatan kepada siswa, (2) alat dan bahan sudah ada di depan meja sebelum siswa masuk kelas dan disusun menurut urut-urutannya (Depdikbud, 1994:130), (3) disediakan alat cadangan. Hal ini berguna apabila alat yang dipakai rusak atau tidak layak, (4) guru mengusahakan siswa dapat berpartisipasi aktif, (5) mengusahakan semua siswa dapat melihat demonstrasi tersebut (apabila demonstrasi dilakukan oleh guru, beberapa siswa atau orang lain yang ditunjuk), (6) guru tidak boleh menggerutu/marah apabila percobaan tidak berhasil, (7) mencatat hasil percobaan, (8) guru memberikan pertanyaan kepada siswa seputar demonstrasi yang dilakukan, baik oleh guru, siswa maupun orang lain yang ditunjuk untuk melakukan demonstrasi, (9) guru menekankan kepada pemahaman siswa. Apabila siswa gagal melakukan percobaan yang didemonstrasikan, guru membimbing siswa tersebut melakukannya lagi sampai berhasil, dan (10) interaksi guru dan siswa tidak kaku.
Kriteria terakhir adalah tahap evaluasi. Tahap evaluasi adalah tahap dimana guru menilai kegiatan demonstrasi yang dilakukannya apakah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Hal/kriteria ini dapat dilakukan dengan cara guru melakukan tanya-jawab kepada siswa tentang hal-hal yang diperoleh selama demonstrasi. Guru juga dapat melakukan diskusi dengan siswa. Guru juga dapat memberikan soal evaluasi mengenai demonstrasi/percobaan yang dilakukan kepada siswa.
Bertolak dari paparan di atas, permasalahan dalam pengamatan ini dirumuskan sebagai berikut : (a) Bagaimana penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dan (b) Bagaimana kesesuaian penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran Sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya. Tujuan pengamatan yang ingin dicapai adalah mengetahui dan mendeskripsikan penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dan kesesuaian penggunaan metode demonstrasi di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya.

METODE
Pengamatan ini dilaksanakan menggunakan rancangan pengamatan deskriptif. pengamatan deskriptif yang dimaksud adalah pengamatan ini berusaha memperoleh informasi dari keadaan yang sedang berlangsung (penggunaan metode demonstrasi pada mata pelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar) pada saat pengamatan ini dilaksanakan. Prosedur pengamatan ini dilaksanakan selama dua kali. Instrumen pengamatan yang digunakan adalah lembar cek list dan kamera digital.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif. Seluruh data yang diperoleh dipilah disusun ke dalam 2 kelompok data, yaitu: (1) penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, dan (2) kesesuaian (persentase) penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif
Untuk mengetahui persentase kesesuaian penggunaan metode demonstrasi dengan pelaksanaan metode demonstrasi yang seharusnya digunakan rumus:


Kriteria kesesuaian pelaksanaan metode demonstrasi yang dilakukan pada pengamatan terhadap pelaksanaan metode demonstrasi yang seharusnya dirumuskan sebagai berikut.
90%-100% Sangat sesuai
80%-89% Sesuai
60%-79% Cukup sesuai
≤ 54% Kurang sesuai
Data yang sudah dihitung dengan persentase, dianalisis secara deskriptif kualitatif. Melalui cara ini data akan dijelaskan dalam bentuk kata-kata.

HASIL
Secara umum, hasil pengamatan 1 dan pengamatan 2 memberikan informasi yang sama. Namun demikian, terdapat beberapa deskriptor yang memiliki perbedaan atau memberikan hasil yang tidak sama. Informasi pengamatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan persentase kesesuaian penggunaan metode demonstrasi pada mata pelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya. Informasi-informasi tersebut disajikan pada tabel berikut.
Informasi yang diperoleh dari tahap perencanaan pada pengamatan 1 dan pengamatan 2 adalah semua deskriptor tahap perencanaan tidak tampak. Keterangannya adalah tidak terdapat rencana pelaksanaan pembelajaran. Deskriptor tahap perencanaan nomor 7 (guru melakukan demonstrasi sebelum melakukannya pada saat pembelajaran) memiliki keterangan (tidak dapat diketahui).
Terdapat 12 deskriptor pada tahap pelaksanaan metode demonstrasi. Informasi yang diperoleh dari tahap pelaksanaan metode demonstrasi pada pengamatan 1 dan pengamatan 2 adalah terdapat 12 deskriptor yang tampak dan 1 deskriptor yang tidak tampak. Deskriptor yang tampak adalah: (1) memberikan langkah-langkah kegiatan kepada siswa (dilakukan dilakukan dengan cara ceramah), (2) disediakan alat cadangan (alat peraga jumlahnya banyak), (3) mengusahakan siswa dapat berpartisipasi aktif (guru meminta siswa melakukan demonstrasi di depan kelas), (4) mengusahakan semua siswa dapat melihat demonstrasi tersebut (apabila demonstrasi dilakukan oleh guru dan atau beberapa siswa) (dilakukan oleh guru di depan kelas dan di dekat kelompok siswa), (5) guru tidak menggerutu/marah apabila percobaan tidak berhasil (guru tidak menggerutu apabila siswa gagal melakukan demonstrasi), (6) guru memberikan penghargaan kepada siswa yang berhasil melakukan percobaan (melalui tepuk tangan), (7) guru bertanya seputar demonstrasi kepada siswa pada saat demonstrasi berlangsung (siswa diberi pertanyaan oleh guru tentang kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan demonstrasi di depan siswa dan demonstrasi yang dilakukan oleh guru), (8) siswa diminta untuk melakukan demonstrasi (dilakukan setelah siswa melakukan percobaan), (9) mencatat hasil percobaan (dilakukan oleh siswa), (10) interaksi siswa dengan guru tidak kaku (siswa tidak malu bertanya kepada guru), dan (11) guru menekankan kepada pemahaman siswa (siswa yang gagal akan diminta untuk mengulangi demonstrasinya). sedangkan aspek yang tidak muncul adalah alat dan bahan sudah ada di depan meja sebelum siswa masuk kelas dan disusun menurut urut-urutannya (alat dan bahan dicari setelah langkah-langkah kegiatan diberikan kepada siswa).
Terdapat 1 deskriptor tahap evaluasi. Deskriptor tersebut adalah guru melakukan tanya jawab dengan siswa. Deskriptor tersebut muncul pada pengamatan 1 dan pengamatan 2. Namun demikian, keterangan pada pengamatan 1 dan pengamatan 2 berbeda. Pada pengamatan 1, keterangan yang diperoleh adalah tanya jawab dilaksanakan setelah semua siswa selesai melakukan demonstrasi. Sedangkan keterangan yang diperoleh pada pengamatan 2 adalah guru melakukan tanya jawab dengan siswa pada saat siswa melakukan demonstrasi.
Poin atau hal terakhir pengamatan ini adalah persentase kesesuaian penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar. Persentase tersebut adalah 63% baik pada pengamatan 1 maupun pada pengamatan 2.

PEMBAHASAN
Deskriptor tahap pelaksanaan pada pengamatan 1 dan 2 yang muncul sejumlah 11 dari 12 deskriptor tahap pelaksanaan metode demonstrasi. Deskriptor-deskriptor tersebut antara lain: (1) memberikan langkah-langkah kegiatan kepada. (2) disediakan alat cadangan, (3) mengusahakan siswa dapat berpartisipasi aktif, (4) mengusahakan semua siswa dapat melihat demonstrasi tersebut (apabila demonstrasi dilakukan oleh guru dan atau beberapa siswa), (5) guru tidak menggerutu/marah apabila percobaan tidak berhasil, (6) guru memberikan penghargaan kepada siswa yang berhasil melakukan percobaan (melalui tepuk tangan), (7) guru bertanya seputar demonstrasi kepada siswa pada saat demonstrasi berlangsung (siswa diberi pertanyaan oleh guru tentang kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan demonstrasi di depan siswa dan demonstrasi yang dilakukan oleh guru), (8) siswa diminta untuk melakukan demonstrasi, (9) mencatat hasil percobaan, (10) interaksi siswa dengan guru tidak kaku, dan (11) guru menekankan kepada pemahaman siswa. munculnya sebagian besar deskriptor-deskriptor tersebut menunjukkan bahwa penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran dapat berjalan dengan baik. siswa diberi langkah-langkah kegiatan. Hal ini akan menantang siswa untuk menemukan produk sains melalui percobaan yang dilakukan. Guru juga mengikutsertakan siswa dalam demonstrasi. Demonstrasi ini dilakukan setelah siswa melakukan percobaan Berarti guru mengedepankan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. tindakan guru tersebut menjadikan siswa memiliki pengalaman langsung. Hal ini sesuai dengan hakikat pembelajaran sains, yaitu “membelajarkan siswa seoptimal mungkin untuk memenuhi atau mengeksplorasi alam sekitar guna mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupannya” (Asy’ari, 2006:34). Selain itu, guru juga menggunakan metode pembelajaran yang lain. Hal ini akan memberikan variasi terhadap pembelajaran, yang mana variasi ini akan menbuat siswa tidak bosan dalam pembelajaran.
Pelaksanaan demonstrasi tersebut dilakukan dengan menggunakan interaksi yang baik antar siswa dengan guru. Siswa tidak malu untuk bertanya dengan guru. Hal ini akan memudahkan siswa memecahkan masalah yang dihadapinya. Selain itu, guru tidak menggerutu atau memarahi siswa yang mengalami kegagalan dalam melakukan percobaan/demonstrasi. Namun, guru memberikan bimbingan kepada siswa tersebut.
Deskriptor tahap evaluasi muncul pada kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tindak lanjut dari pelaksanaan percobaan dan demonstrasi. Hal ini dapat digunakan sebagai cara untuk mengumpulkan hasil percobaan masing-masing kelompok, sehingga produk sains yang diperoleh siswa semakin lengkap.
Deskriptor yang tidak muncul pada tahap pelaksanaan demonstrasi adalah alat dan bahan sudah ada di depan meja dan disusun menurut urut-urutannya. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan dadakan.
Penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar melalui tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hal tersebut terlihat dari munculnya sebagian besar deskriptor pada tahap pelaksanaan dan deskriptor pada tahap evaluasi. Desktiptor-desktiptor tersebut menunjukkan bahwa demonstrasi dilaksanakan dengan baik. Hal ini menyiratkan bahwa terdapat perencanaan demonstrasi oleh guru, meskipun deskriptor pengamatan 1 dan 2 pada tahap perencanaan tidak ada yang muncul.
Persentase kesesuaian penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 kota Blitar adalah pada pengamatan 1 dan 2 63%. Berdasarkan kriteria yang sudah dirumuskan, persentase tersebut termasuk cukup sesuai. Melalui hasil ini hendaknya guru meningkatkan penggunaan metode demonstrasi sesuai dengan yang seharusnya, sehingga akan diperoleh pembelajaran yang lebih baik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran Sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar dilaksanakan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tahap perencanaan dilakukan tanpa menggunakan rencana pelaksanaan pembelajaran. Tahap pelaksanaan dilakukan dengan cara mengikutsertakan siswa pada pelaksanaan demonstrasi. Hubungan guru dengan siswa juga tidak kaku. Guru juga tidak menggerutu/memarahi siswa yang gagal melakukan percobaan/demonstrasi. Tahap evaluasi dilakukan dengan jalan guru melakukan tanya-jawab dengan siswa. Penggunaan metode demonstrasi pada pembelajaran Sains di kelas IV SDN Sananwetan 03 Kota Blitar cukup sesuai dengan penggunaan metode demonstrasi yang seharusnya dengan persentase kesesuaian 63%.


SARAN
Saran ditujukan kepada guru. Guru hendaknya membuat rencana pelaksanaan pembelajaran agar pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi tertata secara sistematis.

DAFTAR RUJUKAN
Asy’ary, Muslichach. 2006. Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakar dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.
Hasibuan, J.J., dan Moedjiono. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tim Penyusun. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Keempat. Malang: Universitas Negeri Malang

Senin, 17 Mei 2010

Selamat Datang

selamat datang di blog saya. saya baru saja membuat blog ini. sesuai dengan namanya, saya berharap semua orang dapat membagikan ilmu atau pengetahuan rekan-rekan dunia maya semuanya secara cuma-cuma... karena,membagikan ilmu lebih baik dari pada menyimpannya sendiri..
terima kasih...

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Blitar, Jawa Timur, Indonesia
Saya Adalah mahasiswa S 1 PGSD KSDP Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang dan juga sebagai guru sukwan di salah satu SD negeri di Kabupaten Blitar